Senin, 29 November 2010

ESTETIKA


Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas tentang tingkah laku perbuatan manusia(baik dan buruk). Sedangkan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku namun tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ukuran keindahan.

Sekitar 500 – 300 SM, pemikir dari jaman yunani, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, dan St. Agustinus ( di Zaman kemudian ). Mereka membicarakan seni dalam kaitannya tentang dengan filsasat mereka tentang apa yang disebut “ keindahan “. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini disebut filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni.

Seni ( art ) aslinya berarti teknik, pertukangan, ketrampilan yang dalam bahasa yunani kuno sering disebut techne. Pada pertengahan abad ke 17, di Eropa di bedakan keindahan umum ( termasuk alam ) dan keindahan karya seni atau benda seni. Dari sinilah muncul istilah fine arts atau high arts ( seni halus dan seni tinggi ), yang dibedakan dengan karya-karya seni pertukangan (craft). Seni pada jaman itu dikategorikan sebagai artefact atau benda hasil buatan manusia. Artefak pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga golongan, Yakni benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, kedua, benda-benda yang berguna dan indah, dan yang ketiga, benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaannya praktisnya. Artefak jenis yang ketiga inilah yang dibicarakan dalam estetika.
Pada tahun 1750 istilah estetika diperkenalkan oleh filsuf bernama A.G. Baumgarten ( 1714-1762 ). Istilah estetika ini diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “ kemampuan melihat melalui penginderaan “ . Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran.

Keindahan merupakan pengertian yang didalamnya tercakup sebagai aktivita kebaikan. Plato misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Berbicara mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Bangsa yunani membedakan pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya “symmetria’ khusus untuk keindahan berdasarkan penglihatan (seni rupa) dan ‘harmonia’ untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Sehingga pengertian keindahan dapat saja meliputi : keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual.
Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayati melalui indera. Ciri-ciri umum yang ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah sejumlah kwalita yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu cermin dari unity, harmony, symmetry, balance dan contrast dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata.

Estetika Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi)

Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik.
Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi)

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.(Sutrisno,1993,hal 34)
Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea’(bentuk).
Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada.
Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.
Aliran Estetika Klasik /Renaissance
Sebutan kata klasik mengandung pengertian sifat dari suatu hal, keadaan atau kejadian pada masa lalu yang mengalami puncak kejayaan, keunggulan, kehebatan, atau kemasyuran namun hingga sekarang sifat-sifat itu masih dirasakan atau diakui. Sifat yang demikian itu disebabkan hal, keadaan atau kejadian tersebut memiliki nilai atau mutu tinggi yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi. Karena itu, sesuatu yang klasik akan tetap bertahan sampai kapanpun seakan tak lekang oleh zaman.
Aliran estetika klasik ini berkembang pada era munculnya tokoh-tokoh filsuf besar, yang terkenal karena kecemerlangan pemikirannya hingga sekarang antara lain seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus dan Thomas Aquinas.
Pokok pemikiran aliran estetika klasik ini bersifat filsafati, yakni deduktif-spekulatif dari hasil pemikiran atau perenungan yang mendalam atas dasar keyakinan, kepercayaan atau ajaran tertentu mengenai hakikat keindahan. Keindahan menurut pemikiran aliran ini merupakan sesuatu hal yang memiliki sifat atau tingkat kesempurnaan yang ideal menurut kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan keyakinan, kepercayaan atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka.
Beberapa tokoh dalam aliran ini bahkan mengemukaan bahwa hakikat keindahan senantiasa terkait dengan hal-hal yang bersifat teologis (ketuhanan). Ketuhanan disini adalah objektivikasi nilai-nilai transendental yang berasal dari tuhan atau merefleksikan nilai-nilai ketuhanan.
Sesuai dengan konsep atau pengertiannya aliran estetika klasik tidak hanya berkembang didunia barat. Konsep-konsep pemikiran estetika timur, jika dipelajari sesungguhnya dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kepercayaan, keyakinan atau ajaran-ajaran yang bersifat metafisis, transendental atau ketuhanan. Logika berpikirnya juga bersifat deduktif dan mutlak diakui kebenarannya. Aliran estetika ini berkembang secara tradisional dari generasi kegenerasi sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan kebudayaan setempat. Sebagai cintoh konsep pemikiran estetika Cina (taoisme), Jepang (zen budhisme), jawa (magis kosmis-mistikisme) dan bali (hindu-balisme) semuanya berkembang atas dasar nilai-nilai tradisi kepercayaan budaya masyarakat yang bersangkutan

Aliran Modernisme

Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaranseni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan. Seniman modernis mencampakkan keindahan sebagai faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis oleh Pablo Picasso pada lukisan ‘Les Demoiselles d’ Avignon’.
Paham aliran ini lebih menegaskan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan. Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yangsangat rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam melihat persoalan keindahan. Artinya suatu keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam paham ini keindahan didekati dan dijelaskan secara ilmiah dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah seperti ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah dan bahkan ada yang mendekatkan dan penjelasan ilmu Matematika. Implikasi menggunakan pendekatan atau cara pandang keilmuan ini, maka konsep keindahan akan menampakkan standar, sifat, nilai atau penjelasan yang berbeda sesuai dengan kebenaran disiplin masing-masing ilmu tersebut.
Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakisme, ekspresionisme, dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini. Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi yaitu semacam upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku (universalisme).
Adanya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini kita tahu telah mengakibatkan krisis ekologis.
Lebih lanjut Herbert marcuse menekankan masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu; segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Masyarakat tersebut bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.
Aliran Estetika Postmodernisme
Post Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’ yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial ,politik , dan budaya .
Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkan.
Kelemahan dalam postmodernisme ialah mencampurkan gramatika dan tata bahasa visual yang tidak proporsional, contoh yang paling kentara adalah suguhan acara media tayang televisi yang menawarkan berbagai hal tanpa mencermati subjek, hierarki sosial ataupun budaya masyarakat, terlihat pada tayangan iklan rokok dilihat oleh anak-anak ataupun peristiwa serius dapat terlihat seperti adegan konyol
Estetika Keilmuan
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.
Estetika Filosofis
Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh. Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.
Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah.
Penasaran !!!

Aliran Estetika Klasik

Aliran Estetika Klasik

Sebutan kata klasik mengandung pengertian sifat dari suatu hal, keadaan atau kejadian pada masa lalu yang mengalami puncak kejayaan, keunggulan, kehebatan, atau kemasyuran namun hingga sekarang sifat-sifat itu masih dirasakan atau diakui. Sifat yang demikian itu disebabkan hal, keadaan atau kejadian tersebut memiliki nilai atau mutu tinggi yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi. Karena itu, sesuatu yang klasik akan tetap bertahan sampai kapanpun seakan tak lekang oleh zaman.

Aliran estetika klasik ini berkembang pada era munculnya tokoh-tokoh filsuf besar, yang terkenal karena kecemerlangan pemikirannya hingga sekarang antara lain seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus dan Thomas Aquinas.

Pokok pemikiran aliran estetika klasik ini bersifat filsafati, yakni deduktif-spekulatif dari hasil pemikiran atau perenungan yang mendalam atas dasar keyakinan, kepercayaan atau ajaran tertentu mengenai hakikat keindahan. Keindahan menurut pemikiran aliran ini merupakan sesuatu hal yang memiliki sifat atau tingkat kesempurnaan yang ideal menurut kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan keyakinan, kepercayaan atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka.

Beberapa tokoh dalam aliran ini bahkan mengemukaan bahwa hakikat keindahan senantiasa terkait dengan hal-hal yang bersifat teologis (ketuhanan). Ketuhanan disini adalah objektivikasi nilai-nilai transendental yang berasal dari tuhan atau merefleksikan nilai-nilai ketuhanan.

Sesuai dengan konsep atau pengertiannya aliran estetika klasik tidak hanya berkembang didunia barat. Konsep-konsep pemikiran estetika timur, jika dipelajari sesungguhnya dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kepercayaan, keyakinan atau ajaran-ajaran yang bersifat metafisis, transendental atau ketuhanan. Logika berpikirnya juga bersifat deduktif dan mutlak diakui kebenarannya. Aliran estetika ini berkembang secara tradisional dari generasi kegenerasi sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan kebudayaan setempat. Sebagai cintoh konsep pemikiran estetika Cina (taoisme), Jepang (zen budhisme), jawa (magis kosmis-mistikisme) dan bali (hindu-balisme) semuanya berkembang atas dasar nilai-nilai tradisi kepercayaan budaya masyarakat yang bersangkutan

Aliran Modernisme
Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaranseni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan. Seniman modernis mencampakkan keindahan sebagai faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis oleh Pablo Picasso pada lukisan ‘Les

Paham aliran ini lebih menegaskan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan. Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yangsangat rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam melihat persoalan keindahan. Artinya suatu keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam paham ini keindahan didekati dan dijelaskan secara ilmiah dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah seperti ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah dan bahkan ada yang mendekatkan dan penjelasan ilmu Matematika. Implikasi menggunakan pendekatan atau cara pandang keilmuan ini, maka konsep keindahan akan menampakkan standar, sifat, nilai atau penjelasan yang berbeda sesuai dengan kebenaran disiplin masing-masing ilmu tersebut.

Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakisme, ekspresionisme, dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini. Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi yaitu semacam upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku (universalisme).
Adanya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini kita tahu telah mengakibatkan krisis ekologis.

Pandangan modern yang bersifat objektivistis dan positivisme akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.

Dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan sebagainya.

Lebih lanjut Herbert marcuse menekankan masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu; segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sustem kapitalisme. Masyarakat tersebut bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.

Aliran Estetika Posmodernisme
Post Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’ yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial ,politik , dan budaya .

Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.

Postmodernisme merupakan konsep periodiasi yang berfungsi untuk menghubungkan kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan atau kapitalisme multinasional.

Bila perupa modernis mencari hal-hal yang bersifat universal, maka perupa posmodernis malahan berupaya mengidentifikasikan perbedaan. Kalau modernis percaya pada kemungkinan seni sebagai komunikasi universal, posmodernis justru tidak percaya bahwa seni mampu mengemban misi sebagai bahasa komunikasi universal. Mereka bukan mencari hal-hal yang bersifat universal seperti yang dilakukan perupa modernis melainkan mencari perbedaan spesifik dan khusus dengan memperlihatkan pluralisme pandangan, provisional, variabel, pergeseran dan perubahan. Gerakan modernisme kurang menghargai atau memandang rendah nilai keagungan budaya, mereka merasa terpisah dari peristiwa nyata di tengah masyarakat dan peradaban. Sementara gerakan posmodernisme, kendati memiliki sikap skeptis dan kritis terhadap zamannya, tetapi sangat aktif merespons situasi sosial dan politik.

Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkan.

Postmodern sering didefinisikan sebagai krisis modernisme atau krisis yang disebabkan oleh modernisasi. Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya tetapi pada strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya ‘barat’ didominasi oleh budaya verbal maka kini budaya visual menggantikannya. Program aplikasi komputer yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa verbal dan sulit dihafal, kini bahasa gambar atau ikon banyak digunakan sebagai pengganti bahasa tersebut dan ternyata mudah dipahami.
Penasaran !!!

ESTETIKA

Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang tidak ada unsure keindahannya tidak mempunyai daya tarik. Daya tarik pernah ada dan tidak akan ditambah sifat indah itu adalah universal, yaitu sikap yang simpati dan empati.


1. APA ITU KEINDAHAN

Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Ada dua bagian estetika yaitu secara deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan menggambarkan tentang fenomena pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mempersoalkan penyelidikan hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Aspek-aspek keindahan (beauty) inilah yang sangat berperan di dalam estetika hingga membedakannya dengan aspek-aspek seni (art).

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan.

Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia. Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.


Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.



Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
a. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
b. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.


2. SIFAT KEINDAHAN SUBJEKTIF ATAU OBJEKTIF

Dalam estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus debat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni tidaknya dalam apresiasi maupun kritik seni.Arus sekolahan yang mendasarkan ukuran estetika dari dalam karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) hingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu.

Sekolahan ini dihadapkan pada persoalan filsafat yang bertanya secara mendasar bagaimana subyektivitas seni bisa menjadi obyektivitas indah itu sendiri? Secara ringkas, filsafat seni berabad-abad justru karena sejarah pralogis, logis-modernis, dan posmo setiap kali harus menjawab soal karya seni yang indah (dari subyektivitas seniman maupun apresiator publik) adalah BENAR-BENAR INDAH bagi publik? Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa indah, benar, dan baik itu adalah hasil olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman dalam apa yang disebut sebagai konstruksi nilai budaya. Jadi, yang indah menurut konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas akan diukur dari manfaat karya itu. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi yang tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai yang selalu dirayakan dan dirawat lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.

Konstruksi nilai ukuran logis- modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai ukuran harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa; yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang materi. Oleh Immanuel Kant, ukuran penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada yang ia sebut sebagai sublim, yaitu capaian seniman dalam karyanya yang sudah diendapkan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materia atau yang fisik. Sekolahan pendasaran logis- estetis ini, mempunyai kesulitan ketika harus membawa ukuran sublim itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.

Karena itu, ketika kehidupan dengan ragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan ukuran keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme (yang logos itulah yang paling benar) direaksi dengan sekolahan postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan ukuran estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making. Untuk keluar dalam mencari ukuran estetika karya seni pertama-tama bisa diolah lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya.

Maka tidak heran seorang Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendayai kehidupan dalam will to power.


3. APA UKURAN KEINDAHAN


Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam ukuran keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:

1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.

2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.

3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.

4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.



Kita dapat juga mengukur keindahan melalui beberapa argument dari berbagai peristiwa yang pernah kita saksikan, kita simak, atau bahkan hingga kita amati. Suatu masalah yaitu, lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebasmengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik?
Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik.

Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban. Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.


Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.
Mereka lupa banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.


4. FUNGSI KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN

Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.


5. HUBUNGAN KEINDAHAN DENGAN KEBENARAN


Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad. Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.

Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.
Penasaran !!!