Selasa, 03 Agustus 2010

ESTETIKA

ESTETIKA

Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang tidak ada unsure keindahannya tidak mempunyai daya tarik. Daya tarik pernah ada dan tidak akan ditambah sifat indah itu adalah universal, yaitu sikap yang simpati dan empati.

1. APA ITU KEINDAHAN
Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Ada dua bagian estetika yaitu secara deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan menggambarkan tentang fenomena pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mempersoalkan penyelidikan hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Aspek-aspek keindahan (beauty) inilah yang sangat berperan di dalam estetika hingga membedakannya dengan aspek-aspek seni (art).
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan.

Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia. Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
a. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
b. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.

2. SIFAT KEINDAHAN SUBJEKTIF ATAU OBJEKTIF
Dalam estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus debat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni tidaknya dalam apresiasi maupun kritik seni.Arus sekolahan yang mendasarkan ukuran estetika dari dalam karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) hingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu.

Sekolahan ini dihadapkan pada persoalan filsafat yang bertanya secara mendasar bagaimana subyektivitas seni bisa menjadi obyektivitas indah itu sendiri? Secara ringkas, filsafat seni berabad-abad justru karena sejarah pralogis, logis-modernis, dan posmo setiap kali harus menjawab soal karya seni yang indah (dari subyektivitas seniman maupun apresiator publik) adalah BENAR-BENAR INDAH bagi publik? Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa indah, benar, dan baik itu adalah hasil olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman dalam apa yang disebut sebagai konstruksi nilai budaya. Jadi, yang indah menurut konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas akan diukur dari manfaat karya itu. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi yang tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai yang selalu dirayakan dan dirawat lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.

Konstruksi nilai ukuran logis- modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai ukuran harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa; yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang materi. Oleh Immanuel Kant, ukuran penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada yang ia sebut sebagai sublim, yaitu capaian seniman dalam karyanya yang sudah diendapkan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materia atau yang fisik. Sekolahan pendasaran logis- estetis ini, mempunyai kesulitan ketika harus membawa ukuran sublim itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.

Karena itu, ketika kehidupan dengan ragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan ukuran keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme (yang logos itulah yang paling benar) direaksi dengan sekolahan postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan ukuran estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making. Untuk keluar dalam mencari ukuran estetika karya seni pertama-tama bisa diolah lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya.

Maka tidak heran seorang Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendayai kehidupan dalam will to power.

3. APA UKURAN KEINDAHAN
Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam ukuran keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:
1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.
2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.
3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.
4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.

Kita dapat juga mengukur keindahan melalui beberapa argument dari berbagai peristiwa yang pernah kita saksikan, kita simak, atau bahkan hingga kita amati. Suatu masalah yaitu, lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebasmengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik?
Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik.

Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban. Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.
Mereka lupa banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.

4. FUNGSI KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN
Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

5. HUBUNGAN KEINDAHAN DENGAN KEBENARAN
Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad. Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.

Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.
Penasaran !!!

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;
b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;
c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG SUMBER DAYA AIR


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.
7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.
10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.
14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.
15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.
20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air.
21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.
22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.
23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air.
24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air.
25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung.
26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 2
Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 3
Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 4
Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.

Pasal 5
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

Pasal 6
(1) Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
(3) dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
(4) Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan hak guna air.

Pasal 7
(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air.
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.

Pasal 8
(1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi.
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila:
a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar; atau
c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(4) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.

Pasal 9
(1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi.

Pasal 10
Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 11
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.
(2) Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah.
(3) Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
(4) Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
(5) Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12
(1) Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai.
(2) Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 13
(1) Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional.
(3) Penetapan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
(4) Penetapan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air tanah lintas negara.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 14
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah meliputi:
a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengelolaan sumber daya air;
j. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber daya air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 15
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air;
j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat atas air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 16
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya; dan
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Pasal 17
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain meliputi:
a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air sesuai dengan ketersediaan air yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya.

Pasal 18
Sebagian wewenang Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 19
(1) Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16, pemerintah daerah dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah di atasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 wajib diambil oleh pemerintah di atasnya dalam hal:
a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air sehingga dapat membahayakan kepentingan umum; dan/atau
b. adanya sengketa antarprovinsi atau antarkabupaten/kota.



BAB III
KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Pasal 20
(1) Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
(2) Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(3) Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 21
(1) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian air pada sumber air;
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
(3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22
(1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
(2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 23
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air.
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 24
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/ atau mengakibatkan pencemaran air.

Pasal 25
(1) Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
(2) Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB IV
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR
Pasal 26
(1) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(2) Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
(3) Pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
(4) Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik antarsektor, antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat dengan mendorong pola kerja sama.
(5) Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
(6) Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin.
(7) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat.

Pasal 27
(1) Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air.
(2) Penetapan zona pemanfaatan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana tata ruang wilayah dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(3) Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
a. mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
b. menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
c. memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber air;
d. memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
e. melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan; dan
f. memperhatikan fungsi kawasan.
(4) Ketentuan dan tata cara penetapan zona sumber air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 28
(1) Penetapan peruntukan air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan memperhatikan:
a. daya dukung sumber air;
b. jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
c. perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air; dan
d. pemanfaatan air yang sudah ada.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai penetapan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 29
(1) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi berbagai keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas.
(2) Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan.
(4) Urutan prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(5) Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada pemakainya.
(6) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 30
(1) Penyediaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai .
(2) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengambil tindakan penyediaan sumber daya air untuk memenuhi kepentingan yang mendesak berdasarkan perkembangan keperluan dan keadaan setempat.

Pasal 31
Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 32
(1) Penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media dan/atau materi.
(2) Penggunaan sumber daya air dilaksanakan sesuai penatagunaan dan rencana penyediaan sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Penggunaan air dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, sosial, dan pertanian rakyat dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan lingkungannya atau prasarana umum yang bersangkutan.
(4) Penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang dilakukan melalui prasarana sumber daya air harus dengan persetujuan dari pihak yang berhak atas prasarana yang bersangkutan.
(5) Apabila penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menimbulkan kerusakan pada sumber air, yang bersangkutan wajib mengganti kerugian.
(6) Dalam penggunaan air, setiap orang atau badan usaha berupaya menggunakan air secara daur ulang dan menggunakan kembali air.
(7) Ketentuan mengenai penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 33
Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur dan menetapkan penggunaan sumber daya air untuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan sumber daya air.

Pasal 34
(1) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.
(2) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.
(3) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. daya dukung sumber daya air ;
b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat ;
c. kemampuan pembiayaan; dan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.
(4) Pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei, investigasi, dan perencanaan, serta berdasarkan pada kelayakan teknis, lingkungan hidup, dan ekonomi.
(5) Potensi dampak yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditangani secara tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tahap penyusunan rencana.

Pasal 35
Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) meliputi:
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan; dan
d. air laut yang berada di darat.

Pasal 36
(1) Pengembangan air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilaksanakan dengan memperhatikan karakteristik dan fungsi sumber air yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 37
(1) Air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat meng-akibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
(2) Pengembangan air tanah pada cekungan air tanah dilakukan secara terpadu dalam pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai dengan upaya pencegahan terhadap kerusakan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 38
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan teknologi modifikasi cuaca.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan awan untuk teknologi modifikasi cuaca diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 39
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan memperhatikan fungsi lingkungan hidup.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat menggunakan air laut yang berada di darat untuk kegiatan usaha setelah memperoleh izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan air laut yang berada di darat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 40
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(2) Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.
(4) Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(5) Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk:
a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau;
b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan
c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.
(6) Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d.
(7) Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air.
(8) Ketentuan pengembangan sistem penyediaan air minum, badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum, peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum, dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 41
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi.
(2) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan:
a. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah;
b. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi;
c. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(3) Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air.
(4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.
(5) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(6) Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 42
(1) Pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air baku dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi .
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 43
(1) Pengembangan sumber daya air untuk keperluan ketenagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan untuk memenuhi keperluan sendiri dan untuk diusahakan lebih lanjut.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk ketenagaan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44
(1) Pengembangan sumber daya air untuk perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan pada sungai, danau, waduk, dan sumber air lainnya.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air sebagai jaringan prasarana angkutan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 45
(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.
(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah.
(3) Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:
a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;
b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan.

Pasal 46
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi air sementara.

Pasal 47
(1) Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:
a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air; dan
b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin pengusahaan sumber daya air.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
(4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.
(5) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong keikutsertaan usaha kecil dan menengah.

Pasal 48
(1) Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan air yang melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(2) Pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

Pasal 49
(1) Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah dapat terpenuhi.
(2) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai yang bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
(3) Rencana pengusahaan air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50
Ketentuan mengenai pengusahaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB V
PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

Pasal 51

(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
(3) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.
(4) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air wilayah sungai dan masyarakat.

Pasal 52
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.

Pasal 53
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada kegiatan nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh pengelola sumber daya air yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 54
(1) Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan mitigasi bencana.
(2) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 55
(1) Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(2) Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan keputusan presiden.

Pasal 56
Dalam keadaan yang membahayakan, gubernur dan/atau bupati/walikota berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).


Pasal 57
(1) Pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana sumber daya air.
(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 58
(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
(2) Ketentuan mengenai pengendalian daya rusak air pada sungai, danau, waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VI
PERENCANAAN

Pasal 59
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
(2) Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasar-kan asas pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(4) Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempur-naan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 60
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional yang mencakup inventarisasi sumber daya air, penyusunan, dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai prosedur dan persyaratan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 61
(1) Inventarisasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dilakukan pada setiap wilayah sungai di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi pada setiap wilayah sungai oleh pengelola sumber daya air yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan ketentuan dan tata cara yang ditetapkan.
(4) Pengelola sumber daya air wajib memelihara hasil inventarisasi dan memperbaharui data sesuai dengan perkembangan keadaan.
(5) Ketentuan mengenai inventarisasi sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) pada setiap wilayah sungai dilaksanakan secara terkoordinasi oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya dengan mengikutsertakan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan secara terbuka rancangan rencana pengelolaan sumber daya air kepada masyarakat.
(3) Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat.
(4) Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap rancangan rencana pengelolaan sumber daya air atas keberatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Rancangan rencana pengelolaan sumber daya air ditetapkan oleh instansi yang berwenang untuk menjadi rencana pengelolaan sumber daya air.
(6) Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam program yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat.
(7) Ketentuan mengenai perencanaan pengelolaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VII
PELAKSANAAN KONSTRUKSI, OPERASI DAN PEMELIHARAAN

Pasal 63
(1) Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dilakukan berdasarkan norma, standar, pedoman, dan manual dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal serta mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air wajib memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 64
(1) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air.
(2) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.
(3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dibangun oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang membangun.
(5) Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi ditetapkan:
a. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,
b. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat petani pemakai air.
(7) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air.
(8) Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VIII
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR
Pasal 65
(1) Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(2) Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis, kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.

Pasal 66
(1) Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi.
(2) Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis untuk menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.

Pasal 67
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air, sesuai dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air bagi semua pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang melaksanakan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan laporan hasil kegiatannya kepada instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum, organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggungjawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan ketepatan waktu atas informasi yang disampaikan.

Pasal 68
(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air diperlukan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.

Pasal 69
Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB IX
PEMBERDAYAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 70
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pember-dayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan sumber daya air secara terencana dan sistematis untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, operasi dan pemeliharaan sumber daya air dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Kelompok masyarakat atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan upaya pemberdayaan untuk kepentingan masing-masing dengan berpedoman pada tujuan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta pendampingan.


Pasal 71
(1) Menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air menetapkan standar pendidikan khusus dalam bidang sumber daya air.
(2) Penyelenggaraan pendidikan bidang sumber daya air dapat dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta sesuai dengan standar pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 72
(1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang sumber daya air diselenggarakan untuk mendukung dan meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
(2) Menteri yang membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah memperoleh saran dari menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan sumber daya air, menetapkan kebijakan dan pedoman yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang sumber daya air.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung untuk meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang sumber daya air oleh masyarakat, dunia usaha, dan perguruan tinggi.


Pasal 73
Pemerintah memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi dalam bidang sumber daya air sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
(1) Pendampingan dan pelatihan bidang sumber daya air ditujukan untuk pemberdayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan pada wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan sumber daya air, menetapkan pedoman kegiatan pendampingan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya air wajib memberikan dukungan dan bekerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan pendampingan dan pelatihan.

Pasal 75
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya air, diselenggarakan kegiatan pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
(4) Pemerintah menetapkan pedoman pelaporan dan pengaduan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 76
Ketentuan mengenai pemberdayaan dan pengawasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 75 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 77
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air.
(2) Jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi:
a. biaya sistem informasi;
b. biaya perencanaan;
c. biaya pelaksanaan konstruksi;
d. biaya operasi, pemeliharaan; dan
e. biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.
(3) Sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa:
a. anggaran pemerintah;
b. anggaran swasta; dan/atau
c. hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air.




Pasal 78
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kerja sama.
(2) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumber daya air.
(3) Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi diatur sebagai berikut:
a. pembiayaan pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; dan dapat melibatkan peran serta masyarakat petani,
b. pembiayaan pelaksanaan konstruksi sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, kecuali bangunan sadap, saluran sepanjang 50 m dari bangunan sadap, dan boks tersier serta bangunan pelengkap tersier lainnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,
c. pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan strategis nasional, pembiayaan pengelolaan-nya ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang bersangkutan melalui pola kerja sama.

Pasal 79
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan sumber daya air yang diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, badan usaha lain dan perseorangan ditanggung oleh masing-masing yang bersangkutan.
(2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum, Pemerintah dan pemerintah daerah dalam batas-batas tertentu dapat memberikan bantuan biaya pengelolaan kepada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air.


Pasal 80
(1) Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(2) Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan.
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan sumber daya air.
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 81
Ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 82
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, masyarakat berhak untuk:
a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air;
b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan sumber daya air;
c. memperoleh manfaat atas pengelolaan sumber daya air;
d. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat;
e mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air; dan/atau
f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumber daya air yang merugikan kehidupannya.

Pasal 83
Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi sumber daya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air.

Pasal 84
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB XII
KOORDINASI

Pasal 85
(1) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air.
(2) Pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.

Pasal 86
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan oleh suatu wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain.
(2) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air.
(3) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.
(4) Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Pasal 87
(1) Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional yang dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain yang dibentuk oleh pemerintah provinsi.
(2) Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(4) Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif.
(5) Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri yang membidangi sumber daya air.


BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 88
(1) Penyelesaian sengketa sumber daya air pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 89
Sengketa mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya air antara Pemerintah dan pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


BAB XIV
GUGATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

Pasal 90
Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan.

Pasal 91
Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk kepentingan masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air dan/atau kerusakan sumber air yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pasal 92
(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya, untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak dalam bidang sumber daya air;
b. mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran dasarnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air; dan
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.


BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 93
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang sumber daya air dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana sumber daya air;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana sumber daya air;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana sumber daya air;
d. melakukan pemeriksaan prasarana sumber daya air dan menghentikan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
e. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana sumber daya air;
g. membuat dan menandatangani berita acara dan mengirimkan-nya kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.



BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 94
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat meng-akibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan sebagian atau seluruhnya hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan sumber daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); atau
c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2);
d. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pasal 95
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencermaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau;
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pengusahaan sumber daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2);
c. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pasal 96
(1) Dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.



BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 97
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan sumber daya air dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.


Pasal 98
Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.


BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 99
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 100
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 32


Salinan sesuai dengan aslinya,

Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan




Lambock V. Nahattands
Penasaran !!!

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;
c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).


Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Pasal 3
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Pasal 4
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pasal 6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
Pasal 8
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti:
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
d. pengawasan.
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.

Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan hutan,
c. penatagunaan kawasan hutan,
d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e. penyusunan rencana kehutanan.
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.

Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.

Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.
(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
(1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.
(4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

Pasal 24
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Pasal 25
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.

Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.

Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.

Pasal 31
(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.

Pasal 33
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
a. masyarakat hukum adat,
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga sosial dan keagamaan.

Pasal 35
(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 38
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pasal 41
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
a. reboisasi,
b. penghijauan,
c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau
e. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

Pasal 42
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
(1) Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.
(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.

Pasal 44
(1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(2) Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
(3) Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.


Pasal 48
(1) Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.
(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
(1) Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.
(2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
(3) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.

Bagian Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pasal 53
(1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.
(2) Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

Pasal 54
(1) Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.
(2) Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pasal 55
(1) Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.
(2) Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Keempat
Penyuluhan Kehutanan
Pasal 56
(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.

Bagian Kelima
Pendanaan dan Prasarana
Pasal 57
(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 59
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Pasal 60
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
(2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.

Pasal 61
Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Pasal 62
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Pasal 63
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.

Pasal 64
Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.

Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN
Pasal 66
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 68
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

Pasal 70
(1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 71
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 73
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.

Pasal 75
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Pasal 76
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.

BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 77
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
g. membuat dan menanda-tangani berita acara;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 79
(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 82
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:
1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
Pasal 84
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta,
Pada tanggal 30 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE




Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,
ttd.
LAMBOCK V. NAHATTANDS
































PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
UMUM
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.
Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan. Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal.
Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.
Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.
Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.
Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.
Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka semua ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut tidak diatur lagi dalam undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13.
Hasil hutan tersebut dapat berupa:
a. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;
b. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
c. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang;
d. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;
e. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.
Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini.
Pengertian "dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.
Ayat (2)
Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat penting, strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang dapat berupa hutan atau bukan hutan.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa.
Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.
Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi.
Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.
Pasal 7
Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini merupakan bagian dari kawasan suaka alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.
Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-kepentingan religi dan budaya setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.
Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat aturan antara lain:
a. tipe hutan kota,
b. bentuk hutan kota,
c. perencanaan dan pelaksanaan,
d. pembinaan dan pengawasan,
e. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran, dan lain-lain.
Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman dalam penetapan peraturan daerah.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu lama.
Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah.
Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Ayat (5)
Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara,
b. mekanisme pelaksanaan,
c. pengawasan dan pengendalian, dan
d. sistem informasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
c. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).
Ayat (2)
Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional masyarakat.
Pembentukan unit pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.
Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah keseimbangan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.
Ayat (2)
Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kriteria fungsi hutan,
b. cakupan luas,
c. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan
d. tata cara perubahan.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain:
a. jenis-jenis rencana,
b. tata cara penyusunan rencana kehutanan,
c. sistim perencanaan,
d. proses perencanaan,
e. koordinasi, dan
f. penilaian.
Pasal 21
Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan.
Pasal 22
Ayat (1)
Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya, dan keadaan hutan.
Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat.
Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan.
Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.
Ayat (4)
Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Ayat (5)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pengaturan tentang tata cara penataan hutan,
b. penggunaan hutan,
c. jangka waktu, dan
d. pertimbangan daerah.
Pasal 23
Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.
Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.
Pasal 24
Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.
Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:
a. zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;
b. zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti; dan
c. zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
a. budidaya jamur,
b. penangkaran satwa, dan
c. budidaya tanaman obat dan tanaman hias.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
d. pemanfaatan untuk wisata alam,
e. pemanfaatan air, dan
f. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
g. mengambil rotan,
h. mengambil madu, dan
i. mengambil buah.
Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.
Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang dapat dijadikan agunan.
Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume tertentu, dengan tetap memperhatikan azas lestari dan berkeadilan.
Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama.
Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerjasama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional.
Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.
Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:
a. kelestarian lingkungan,
b. kelestarian produksi, dan
c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan.
Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:
d. kepastian kawasan,
e. kepastian waktu usaha, dan
f. kepastian jaminan hukum berusaha.
Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, maka perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
b. pembatasan luas,
c. pembatasan jumlah izin usaha, dan
d. penataan lokasi usaha.
Pasal 32
Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan.
Ayat (3)
Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem.
Pasal 35
Ayat (1)
Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif progresif sesuai luas areal.
Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.
Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari.
Ayat (2)
Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan. Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara pengenaan,
b. tata cara pembayaran,
c. tata cara pengelolaan,
d. tata cara penggunaan, dan
e. tata cara pengawasan dan pengendalian.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya.
Ayat (2)
Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Pemerintah memberikan kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37
Ayat (1)
Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara pemberian izin,
b. pelaksanaan usaha pemanfaatan,
c. hak dan kewajiban, dan
d. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung dan konservasi.
Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi.
Pasal 41
Ayat (1)
Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan.
Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal.
Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.
Ayat (2)
Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi.
Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik, sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pengaturan daerah aliran sungai prioritas,
b. penyusunan rencana,
c. koordinasi antar sektor tingkat pusat dan daerah,
d. peranan pihak-pihak terkait, dan
e. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman, dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan pemerintah.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. teknik,
b. tata cara,
c. pembiayaan,
d. organisasi,
e. penilaian, dan
f. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. pola, teknik, dan metode,
b. pembiayaan,
c. pelaksanaan, dan
d. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 46
Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara; diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. prinsip-prinsip perlindungan hutan,
b. wewenang kepolisian khusus,
c. tata usaha peredaran hasil hutan, dan
d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.
Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf c
Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Huruf d
Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.
Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.



Huruf e
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.
b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letakannya.
c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.
Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
Huruf i
Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.
Huruf k
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Ayat (4)
Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari.
Ayat (2)
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan.
Ayat (3)
Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik.
Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara tidak sah atau tanpa izin.
Pasal 53
Ayat (1)
Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami, menguasai, menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama lembaga penelitian nondepartemen.
Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta.
Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Ayat (4)
Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, pemerintah melakukan inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif yang memadai.
Pasal 54
Ayat (1)
Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan.
Ayat (2)
Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK, diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari hasil temuannya.
Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh peneliti atau lembaga Litbang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan manusia sebagai makhluk individu dan mahluk sosial.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional.
Ayat (4)
Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 57
Ayat (1)
Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai.
Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (2)
Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kelembagaan,
b. tata cara kerjasama,
c. perizinan,
d. pengaturan tenaga peneliti asing,
e. pendanaan dan pemberdayaan,
f. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan,
g. sistem informasi, dan
h. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 59
Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa izin.
Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan, labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan, serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional.
Pasal 65
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
i. tata cara dan mekanisme pengawasan,
j. kelembagaan pengawasan,
k. obyek pengawasan, dan
l. tindak lanjut pengawasan.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
m. jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan,
n. tatacara dan tata hubungan kerja,
o. mekanisme pertanggungjawaban, dan
p. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 67
Ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Ayat (2)
Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
f. tata cara penelitian,
g. pihak-pihak yang diikutsertakan,
h. materi penelitian, dan
i. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
Pasal 68
Ayat (1)
Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka.
Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan.
Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan.
Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemerhati kehutanan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. kelembagaan,
b. bentuk-bentuk peran serta, dan
c. tata cara peran serta.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu KUHAP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.
Ayat (3)
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan.
Mekanisme hubungan koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dengan pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.
Ayat (15)
Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain.
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif,
b. bentuk-bentuk sanksi, dan
c. pengawasan pelaksanaan.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3888
Penasaran !!!