ESTETIKA SENI dalam ARSITEKTUR
Mengapa membicarakan estetika? Tentu saja cukup penting agar estetika bangunan lebih mudah dipahami dengan suatu alat, karena biasanya estetika berbeda bagi setiap orang. Sama seperti sebuah bahasa, bila tidak ada bahasa, maka pengetahuan tidak tertularkan. Dalam arsitektur, estetika adalah sebuah bahasa visual, yang tidak sama dengan beberapa bahasa estetika yang tidak visual, seperti bahasa itu sendiri. Estetika dalam arsitektur memiliki banyak sangkut paut dengan segala yang visual seperti permukaan, volume, massa, elemen garis, dan sebagainya, termasuk berbagai order harmoni, seperti komposisi.
Estetika yang berbeda dicari untuk mendapatkan pengalaman
estetis lain, misalnya turis luar negeri datang ke Bali.
Estetika meskipun berkaitan dengan 'rasa' saat melihat bangunan juga dapat dibangun melalui aplikasi teori arsitektur. Inilah mengapa estetika patut dibahasakan dan dibahas dalam alat yang bernama komunikasi. Estetika dapat dimengerti dan dikembangkan melalui pemahaman berbagai hal menyangkut teori estetika, menjadi dasar bagi banyak cabang seni. Namun melihat berbagai dimensi yang mempengaruhi bagaimana seorang manusia mengapresiasi keindahan, estetika hanyalah sebuah media untuk mencoba menjelaskan apa yang disebut indah, namun tidak pernah bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang berkaitan dengan sensasi keindahan. Dalam teori tentang estetika, dicoba dijelaskan berbagai sisi yang 'tersentuh' oleh keindahan sebuah obyek. Jadi, apa yang indah bagi saya belum tentu indah bagi Anda.
Mengapa preferensi berbeda? Apakah melulu hanya sebuah perbedaan genetika atau faktor psikologis? Sebuah bangunan bisa jadi menarik bagi seseorang, namun tidak untuk yang lain. Determinasi estetika dalam pikiran tidak melulu ditumbuhkan melalui faktor-faktor eksternal yang hadir dari luar seorang subyek, namun juga hadir dari perangkat pengenalan dalam dirinya. Karenanya arsitektur tidak selalu cukup hanya dipelajari melalui ilmu estetika yang dangkal dan obyektif semata, perlu pendekatan subyektif untuk mengetahui sebuah preferensi.
Karenanya, arsitek yang berhasil dengan sebuah obyek arsitektural biasanya berhasil dengan mengetahui lebih jauh tentang sisi subyektif klien, misalnya dengan proses berbincang-bincang dengan seorang klien. Ini menjadi arsitektur yang didasarkan pada intuisi saat mendesain, selain bisa juga merupakan wadah kreativitas dari implementasi teori estetika.
Keindahan memang subyektif, dalam diri setiap orang, pendapat tentang nilai estetika sebuah bangunan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain;
• subyektifitas diri sendiri. Sensasi hanya dimungkinkan bila fungsi biologis tubuh kita yang berkaitan dengan fungsi sensasi dan persepsi dalam keadaan normal; misalnya mata bisa melihat, hidung bisa mencium, pikiran dalam keadaan normal/perseptif. Mampukah suatu obyek menggairahkan 'limbic' dalam otak kita sehingga merasa adanya kenikmatan saat berkontak dengan sebuah obyek arsitektural. Kenikmatan yang didapatkan itu menjadikan otak kita mengatakan sesuatu itu 'indah'.
• pengaruh dari lingkungan/masyarakat tentang apa yang disebut indah. Antara lain:
• pendidikan; apa yang ditanamkan dunia edukasi tentang keindahan, mungkin merupakan suatu pandangan yang ditekankan terus-menerus dan boleh jadi mengakar pada diri kita, serta metode untuk mengapresiasi suatu obyek juga merupakan suatu metode yang ditekankan secara terus-menerus.
• opini yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan melalui media, estetika diperkenalkan sebagai konsensus dalam skala tertentu, apakah regional, kolonial, dan disebarluaskan dengan berbagai cara. Terkadang estetika yang diperkenalkan dimaksudkan untuk mendukung sebuah industri terkait tren arsitektur, seperti industri perumahan. Estetika yang merupakan ideal suatu teritorial berbasis tradisi juga dapat memberi pengaruh teramat besar.
• pilihan yang diberikan oleh situasi, hanya pilihan yang memungkinkan akan dipilih digunakan dalam rancangan
Arsitek Lansekap Penting gak sich …???
Dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan dari sebuah media cetak,ditanyakan sebuah pertanyaan:
"Banyak orang awam yang belum mengerti pentingnya arsitek lansekap, bisa dijelaskan secara singkat sebenarnya bagaimana peran dan pentingnya arsitek lansekap dewasa ini ?"
Sebuah pertanyaan yang mengelitik ke-intelektualan dan keprofesian arsitek lansekap yang sudah saya jalani selama 2 dasawarsa ini.bagaimana saya harus menjawab dengan keterangan yang dapat dimengerti orang awam dan tidak hanya sekedar mendudukan secara arogansi ke-ego-an akan pentingnya ilmu arsitektur lansekap bagi kehidupan bermasyarakat.
Dengan cara melihat dari beberapa sudut pandang mungkin akan dapat terlihat dengan jelas pentingnya ilmu arsitektur lansekap dan peran profesi arsitek lansekap dalam kaitannya dengan pembangunan Di Indonesia
Perspektif PERTAMA dari ASPEK DEFINISI KEILMUAN
Jika dilihat definisi ilmu arsitektur lansekap dalam kaitannya permasalahan-permasalahan lingkungan akibat pembangunan yang selama ini cenderung anthropocentris dan mulai bangkitnya kesadaran manusia akan arti dan makna pentingnya hidup berdampingan serasi dengan alam lingkungan sekitar , serta keinginan untuk mewariskan sebuah lingkungan dengan daya dukung lingkungan yang memadai bagi generasi anak cucu agar dapat hidup secara harmonis, maka peran dan kedudukan seorang arsitek lansekap dalam masa modern ini dapat dikatakan profesi ini akan terletak pada kedudukan posisi yang penting.
Arsitektur Bali
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
Konsep Dasar
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:
• Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
• Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
• Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
• Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
3. Sumbu natural: Gunung dan Laut
Hirarki Ruang / Tri Angga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.
1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.
Dimensi Tradisional Bali
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dimensi Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.
Pantheon, Roma
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Ruang Lingkup dan Keinginan
Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.
Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. Rasionalisme, empirisisme, fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.
Teori dan Praktek
Pentingnya teori untuk menjadi rujukan praktek tidak boleh terlalu ditekankan, meskipun banyak arsitek mengabaikan teori sama sekali. Vitruvius berujar: "Praktek dan teori adalah akar arsitektur. Praktek adalah perenungan yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan sebuah proyek atau pengerjaannya dengan tangan, dalam proses konversi bahan bangunan dengan cara yang terbaik. Teori adalah hasil pemikiran beralasan yang menjelaskan proses konversi bahan bangunan menjadi hasil akhir sebagai jawaban terhadap suatu persoalan. Seorang arsitek yang berpraktek tanpa dasar teori tidak dapat menjelaskan alasan dan dasar mengenai bentuk-bentuk yang dia pilih. Sementara arsitek yang berteori tanpa berpraktek hanya berpegang kepada "bayangan" dan bukannya substansi. Seorang arsitek yang berpegang pada teori dan praktek, ia memiliki senjata ganda. Ia dapat membuktikan kebenaran hasil rancangannya dan juga dapat mewujudkannya dalam pelaksanaan".
Sejarah Arsitektur
Untuk lebih jelas lihat artikel utama: Sejarah arsitektur
Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan (kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dsb), dan cara (bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi). Arsitektur prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktek-praktek, arsitektur berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap ini lah terdapat proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil yang sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figur penting, ia semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur Vernakular lahir dari pendekatan yang demikian dan hingga kini masih dilakukan di banyak bagian dunia.
Permukiman manusia di masa lalu pada dasarnya bersifat rural. Kemudian timbullah surplus produksi, sehingga masyarakat rural berkembang menjadi masyarakat urban. Kompleksitas bangunan dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru seperti sekolah, rumah sakit, dan sarana rekreasi pun bermunculan. Arsitektur Religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur berkembang, dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya tulis tersebut menjadi kumpulan aturan (kanon) untuk diikuti khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh kanon ini antara lain adalah karya-karya tulis oleh Vitruvius, atau Vaastu Shastra dari India purba. Di periode Klasik dan Abad Pertengahan Eropa, bangunan bukanlah hasil karya arsitek-arsitek individual, tetapi asosiasi profesi (guild) dibentuk oleh para artisan / ahli keterampilan bangunan untuk mengorganisasi proyek.
Pada masa Pencerahan, humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan kepada arsitek-arsitek individual - Michaelangelo, Brunelleschi, Leonardo da Vinci - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek, maupun insinyur atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.
Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu (misalnya engineering), dan munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan menuju ke estetika. Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, Ecole des Beaux Arts di Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.
Sementara itu, Revolusi Industri membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.
Ketidakpuasan terhadap situasi sedemikian pada awal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari Arsitektur Modern, antara lain, Deutscher Werkbund (dibentuk 1907) yang memproduksi obyek-obyek buatan mesin dengan kualitas yang lebih baik merupakan titik lahirnya profesi dalam bidang desain industri. Setelah itu, sekolah Bauhaus (dibentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat arsitektur sebagai sintesa seni, ketrampilan, dan teknologi.
Ketika Arsitektur Modern mulai dipraktekkan, ia adalah sebuah pergerakan garda depan dengan dasar moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran dicari dengan menolak sejarah dan menoleh kepada fungsi yang melahirkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur penting dan dijuluki sebagai "master". Kemudian arsitektur modern masuk ke dalam lingkup produksi masal karena kesederhanaannya dan faktor ekonomi.
Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan mutu dalam arsitektur modern pada tahun 1960-an, antara lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui Arsitektur Post-Modern dengan usaha membentuk arsitektur yang lebih dapat diterima umum pada tingkat visual, meski dengan mengorbankan kedalamannya. Robert Venturi berpendapat bahwa "gubuk berhias / decorated shed" (bangunan biasa yang interior-nya dirancang secara fungsional sementara eksterior-nya diberi hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah "bebek / duck" (bangunan di mana baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi dasar pendekatan Arsitektur Post-Modern.
Sebagian arsitek lain (dan juga non-arsitek) menjawab dengan menunjukkan apa yang mereka pikir sebagai akar masalahnya. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologi untuk mencapai lingkungan yang dapat ditempati. Design Methodology Movement yang melibatkan orang-orang seperti Chris Jones atau Christopher Alexander mulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Peneilitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku, lingkungan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.
Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan,arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Namun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan bangunan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan eksperimentasi gaya dekonstruktivis sekarang ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.
Kesimpulan
bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu.
Penasaran !!!
Mengapa membicarakan estetika? Tentu saja cukup penting agar estetika bangunan lebih mudah dipahami dengan suatu alat, karena biasanya estetika berbeda bagi setiap orang. Sama seperti sebuah bahasa, bila tidak ada bahasa, maka pengetahuan tidak tertularkan. Dalam arsitektur, estetika adalah sebuah bahasa visual, yang tidak sama dengan beberapa bahasa estetika yang tidak visual, seperti bahasa itu sendiri. Estetika dalam arsitektur memiliki banyak sangkut paut dengan segala yang visual seperti permukaan, volume, massa, elemen garis, dan sebagainya, termasuk berbagai order harmoni, seperti komposisi.
Estetika yang berbeda dicari untuk mendapatkan pengalaman
estetis lain, misalnya turis luar negeri datang ke Bali.
Estetika meskipun berkaitan dengan 'rasa' saat melihat bangunan juga dapat dibangun melalui aplikasi teori arsitektur. Inilah mengapa estetika patut dibahasakan dan dibahas dalam alat yang bernama komunikasi. Estetika dapat dimengerti dan dikembangkan melalui pemahaman berbagai hal menyangkut teori estetika, menjadi dasar bagi banyak cabang seni. Namun melihat berbagai dimensi yang mempengaruhi bagaimana seorang manusia mengapresiasi keindahan, estetika hanyalah sebuah media untuk mencoba menjelaskan apa yang disebut indah, namun tidak pernah bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang berkaitan dengan sensasi keindahan. Dalam teori tentang estetika, dicoba dijelaskan berbagai sisi yang 'tersentuh' oleh keindahan sebuah obyek. Jadi, apa yang indah bagi saya belum tentu indah bagi Anda.
Mengapa preferensi berbeda? Apakah melulu hanya sebuah perbedaan genetika atau faktor psikologis? Sebuah bangunan bisa jadi menarik bagi seseorang, namun tidak untuk yang lain. Determinasi estetika dalam pikiran tidak melulu ditumbuhkan melalui faktor-faktor eksternal yang hadir dari luar seorang subyek, namun juga hadir dari perangkat pengenalan dalam dirinya. Karenanya arsitektur tidak selalu cukup hanya dipelajari melalui ilmu estetika yang dangkal dan obyektif semata, perlu pendekatan subyektif untuk mengetahui sebuah preferensi.
Karenanya, arsitek yang berhasil dengan sebuah obyek arsitektural biasanya berhasil dengan mengetahui lebih jauh tentang sisi subyektif klien, misalnya dengan proses berbincang-bincang dengan seorang klien. Ini menjadi arsitektur yang didasarkan pada intuisi saat mendesain, selain bisa juga merupakan wadah kreativitas dari implementasi teori estetika.
Keindahan memang subyektif, dalam diri setiap orang, pendapat tentang nilai estetika sebuah bangunan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain;
• subyektifitas diri sendiri. Sensasi hanya dimungkinkan bila fungsi biologis tubuh kita yang berkaitan dengan fungsi sensasi dan persepsi dalam keadaan normal; misalnya mata bisa melihat, hidung bisa mencium, pikiran dalam keadaan normal/perseptif. Mampukah suatu obyek menggairahkan 'limbic' dalam otak kita sehingga merasa adanya kenikmatan saat berkontak dengan sebuah obyek arsitektural. Kenikmatan yang didapatkan itu menjadikan otak kita mengatakan sesuatu itu 'indah'.
• pengaruh dari lingkungan/masyarakat tentang apa yang disebut indah. Antara lain:
• pendidikan; apa yang ditanamkan dunia edukasi tentang keindahan, mungkin merupakan suatu pandangan yang ditekankan terus-menerus dan boleh jadi mengakar pada diri kita, serta metode untuk mengapresiasi suatu obyek juga merupakan suatu metode yang ditekankan secara terus-menerus.
• opini yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan melalui media, estetika diperkenalkan sebagai konsensus dalam skala tertentu, apakah regional, kolonial, dan disebarluaskan dengan berbagai cara. Terkadang estetika yang diperkenalkan dimaksudkan untuk mendukung sebuah industri terkait tren arsitektur, seperti industri perumahan. Estetika yang merupakan ideal suatu teritorial berbasis tradisi juga dapat memberi pengaruh teramat besar.
• pilihan yang diberikan oleh situasi, hanya pilihan yang memungkinkan akan dipilih digunakan dalam rancangan
Arsitek Lansekap Penting gak sich …???
Dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan dari sebuah media cetak,ditanyakan sebuah pertanyaan:
"Banyak orang awam yang belum mengerti pentingnya arsitek lansekap, bisa dijelaskan secara singkat sebenarnya bagaimana peran dan pentingnya arsitek lansekap dewasa ini ?"
Sebuah pertanyaan yang mengelitik ke-intelektualan dan keprofesian arsitek lansekap yang sudah saya jalani selama 2 dasawarsa ini.bagaimana saya harus menjawab dengan keterangan yang dapat dimengerti orang awam dan tidak hanya sekedar mendudukan secara arogansi ke-ego-an akan pentingnya ilmu arsitektur lansekap bagi kehidupan bermasyarakat.
Dengan cara melihat dari beberapa sudut pandang mungkin akan dapat terlihat dengan jelas pentingnya ilmu arsitektur lansekap dan peran profesi arsitek lansekap dalam kaitannya dengan pembangunan Di Indonesia
Perspektif PERTAMA dari ASPEK DEFINISI KEILMUAN
Jika dilihat definisi ilmu arsitektur lansekap dalam kaitannya permasalahan-permasalahan lingkungan akibat pembangunan yang selama ini cenderung anthropocentris dan mulai bangkitnya kesadaran manusia akan arti dan makna pentingnya hidup berdampingan serasi dengan alam lingkungan sekitar , serta keinginan untuk mewariskan sebuah lingkungan dengan daya dukung lingkungan yang memadai bagi generasi anak cucu agar dapat hidup secara harmonis, maka peran dan kedudukan seorang arsitek lansekap dalam masa modern ini dapat dikatakan profesi ini akan terletak pada kedudukan posisi yang penting.
Arsitektur Bali
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
Konsep Dasar
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:
• Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
• Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
• Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
• Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
3. Sumbu natural: Gunung dan Laut
Hirarki Ruang / Tri Angga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.
1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.
Dimensi Tradisional Bali
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dimensi Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.
Pantheon, Roma
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Ruang Lingkup dan Keinginan
Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.
Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. Rasionalisme, empirisisme, fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.
Teori dan Praktek
Pentingnya teori untuk menjadi rujukan praktek tidak boleh terlalu ditekankan, meskipun banyak arsitek mengabaikan teori sama sekali. Vitruvius berujar: "Praktek dan teori adalah akar arsitektur. Praktek adalah perenungan yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan sebuah proyek atau pengerjaannya dengan tangan, dalam proses konversi bahan bangunan dengan cara yang terbaik. Teori adalah hasil pemikiran beralasan yang menjelaskan proses konversi bahan bangunan menjadi hasil akhir sebagai jawaban terhadap suatu persoalan. Seorang arsitek yang berpraktek tanpa dasar teori tidak dapat menjelaskan alasan dan dasar mengenai bentuk-bentuk yang dia pilih. Sementara arsitek yang berteori tanpa berpraktek hanya berpegang kepada "bayangan" dan bukannya substansi. Seorang arsitek yang berpegang pada teori dan praktek, ia memiliki senjata ganda. Ia dapat membuktikan kebenaran hasil rancangannya dan juga dapat mewujudkannya dalam pelaksanaan".
Sejarah Arsitektur
Untuk lebih jelas lihat artikel utama: Sejarah arsitektur
Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan (kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dsb), dan cara (bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi). Arsitektur prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktek-praktek, arsitektur berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap ini lah terdapat proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil yang sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figur penting, ia semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur Vernakular lahir dari pendekatan yang demikian dan hingga kini masih dilakukan di banyak bagian dunia.
Permukiman manusia di masa lalu pada dasarnya bersifat rural. Kemudian timbullah surplus produksi, sehingga masyarakat rural berkembang menjadi masyarakat urban. Kompleksitas bangunan dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru seperti sekolah, rumah sakit, dan sarana rekreasi pun bermunculan. Arsitektur Religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur berkembang, dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya tulis tersebut menjadi kumpulan aturan (kanon) untuk diikuti khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh kanon ini antara lain adalah karya-karya tulis oleh Vitruvius, atau Vaastu Shastra dari India purba. Di periode Klasik dan Abad Pertengahan Eropa, bangunan bukanlah hasil karya arsitek-arsitek individual, tetapi asosiasi profesi (guild) dibentuk oleh para artisan / ahli keterampilan bangunan untuk mengorganisasi proyek.
Pada masa Pencerahan, humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan kepada arsitek-arsitek individual - Michaelangelo, Brunelleschi, Leonardo da Vinci - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek, maupun insinyur atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.
Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu (misalnya engineering), dan munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan menuju ke estetika. Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, Ecole des Beaux Arts di Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.
Sementara itu, Revolusi Industri membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.
Ketidakpuasan terhadap situasi sedemikian pada awal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari Arsitektur Modern, antara lain, Deutscher Werkbund (dibentuk 1907) yang memproduksi obyek-obyek buatan mesin dengan kualitas yang lebih baik merupakan titik lahirnya profesi dalam bidang desain industri. Setelah itu, sekolah Bauhaus (dibentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat arsitektur sebagai sintesa seni, ketrampilan, dan teknologi.
Ketika Arsitektur Modern mulai dipraktekkan, ia adalah sebuah pergerakan garda depan dengan dasar moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran dicari dengan menolak sejarah dan menoleh kepada fungsi yang melahirkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur penting dan dijuluki sebagai "master". Kemudian arsitektur modern masuk ke dalam lingkup produksi masal karena kesederhanaannya dan faktor ekonomi.
Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan mutu dalam arsitektur modern pada tahun 1960-an, antara lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui Arsitektur Post-Modern dengan usaha membentuk arsitektur yang lebih dapat diterima umum pada tingkat visual, meski dengan mengorbankan kedalamannya. Robert Venturi berpendapat bahwa "gubuk berhias / decorated shed" (bangunan biasa yang interior-nya dirancang secara fungsional sementara eksterior-nya diberi hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah "bebek / duck" (bangunan di mana baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi dasar pendekatan Arsitektur Post-Modern.
Sebagian arsitek lain (dan juga non-arsitek) menjawab dengan menunjukkan apa yang mereka pikir sebagai akar masalahnya. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologi untuk mencapai lingkungan yang dapat ditempati. Design Methodology Movement yang melibatkan orang-orang seperti Chris Jones atau Christopher Alexander mulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Peneilitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku, lingkungan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.
Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan,arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Namun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan bangunan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan eksperimentasi gaya dekonstruktivis sekarang ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.
Kesimpulan
bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu.