Jumat, 03 Desember 2010

Memuakkan

hari ini....4 Desember 2010....

hari yang memuakkan...g tau kenapa?????....orang_orang yang ada disekitarku seperti musang berbulu domba semua....pura-pura baik ternyata menggigit alias menggerogoti..."wani silit wedi rai"..."nabok nyilih tangan"..."lempar batu sembunyi tangan"...hebat...mereka seolah-olah menanam bom waktu untuk diri mereka sendiri...semoga mereka semua tau akan hal itu...
Penasaran !!!

Senin, 29 November 2010

ESTETIKA


Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas tentang tingkah laku perbuatan manusia(baik dan buruk). Sedangkan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku namun tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ukuran keindahan.

Sekitar 500 – 300 SM, pemikir dari jaman yunani, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, dan St. Agustinus ( di Zaman kemudian ). Mereka membicarakan seni dalam kaitannya tentang dengan filsasat mereka tentang apa yang disebut “ keindahan “. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini disebut filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni.

Seni ( art ) aslinya berarti teknik, pertukangan, ketrampilan yang dalam bahasa yunani kuno sering disebut techne. Pada pertengahan abad ke 17, di Eropa di bedakan keindahan umum ( termasuk alam ) dan keindahan karya seni atau benda seni. Dari sinilah muncul istilah fine arts atau high arts ( seni halus dan seni tinggi ), yang dibedakan dengan karya-karya seni pertukangan (craft). Seni pada jaman itu dikategorikan sebagai artefact atau benda hasil buatan manusia. Artefak pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga golongan, Yakni benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, kedua, benda-benda yang berguna dan indah, dan yang ketiga, benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaannya praktisnya. Artefak jenis yang ketiga inilah yang dibicarakan dalam estetika.
Pada tahun 1750 istilah estetika diperkenalkan oleh filsuf bernama A.G. Baumgarten ( 1714-1762 ). Istilah estetika ini diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “ kemampuan melihat melalui penginderaan “ . Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran.

Keindahan merupakan pengertian yang didalamnya tercakup sebagai aktivita kebaikan. Plato misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Berbicara mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Bangsa yunani membedakan pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya “symmetria’ khusus untuk keindahan berdasarkan penglihatan (seni rupa) dan ‘harmonia’ untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Sehingga pengertian keindahan dapat saja meliputi : keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual.
Keindahan secara murni, menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayatinya. Sedangkan keindahan secara sempit menyangkut benda-benda yang dihayati melalui indera. Ciri-ciri umum yang ada pada semua benda dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Ciri umum tersebut adalah sejumlah kwalita yang secara umum disebut unity, harmony, symmetry, balance dan contrast. Ciri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa keindahan merupakan satu cermin dari unity, harmony, symmetry, balance dan contrast dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata.

Estetika Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi)

Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik.
Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi)

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.(Sutrisno,1993,hal 34)
Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea’(bentuk).
Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada.
Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.
Aliran Estetika Klasik /Renaissance
Sebutan kata klasik mengandung pengertian sifat dari suatu hal, keadaan atau kejadian pada masa lalu yang mengalami puncak kejayaan, keunggulan, kehebatan, atau kemasyuran namun hingga sekarang sifat-sifat itu masih dirasakan atau diakui. Sifat yang demikian itu disebabkan hal, keadaan atau kejadian tersebut memiliki nilai atau mutu tinggi yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi. Karena itu, sesuatu yang klasik akan tetap bertahan sampai kapanpun seakan tak lekang oleh zaman.
Aliran estetika klasik ini berkembang pada era munculnya tokoh-tokoh filsuf besar, yang terkenal karena kecemerlangan pemikirannya hingga sekarang antara lain seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus dan Thomas Aquinas.
Pokok pemikiran aliran estetika klasik ini bersifat filsafati, yakni deduktif-spekulatif dari hasil pemikiran atau perenungan yang mendalam atas dasar keyakinan, kepercayaan atau ajaran tertentu mengenai hakikat keindahan. Keindahan menurut pemikiran aliran ini merupakan sesuatu hal yang memiliki sifat atau tingkat kesempurnaan yang ideal menurut kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan keyakinan, kepercayaan atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka.
Beberapa tokoh dalam aliran ini bahkan mengemukaan bahwa hakikat keindahan senantiasa terkait dengan hal-hal yang bersifat teologis (ketuhanan). Ketuhanan disini adalah objektivikasi nilai-nilai transendental yang berasal dari tuhan atau merefleksikan nilai-nilai ketuhanan.
Sesuai dengan konsep atau pengertiannya aliran estetika klasik tidak hanya berkembang didunia barat. Konsep-konsep pemikiran estetika timur, jika dipelajari sesungguhnya dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kepercayaan, keyakinan atau ajaran-ajaran yang bersifat metafisis, transendental atau ketuhanan. Logika berpikirnya juga bersifat deduktif dan mutlak diakui kebenarannya. Aliran estetika ini berkembang secara tradisional dari generasi kegenerasi sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan kebudayaan setempat. Sebagai cintoh konsep pemikiran estetika Cina (taoisme), Jepang (zen budhisme), jawa (magis kosmis-mistikisme) dan bali (hindu-balisme) semuanya berkembang atas dasar nilai-nilai tradisi kepercayaan budaya masyarakat yang bersangkutan

Aliran Modernisme

Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaranseni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan. Seniman modernis mencampakkan keindahan sebagai faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis oleh Pablo Picasso pada lukisan ‘Les Demoiselles d’ Avignon’.
Paham aliran ini lebih menegaskan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan. Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yangsangat rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam melihat persoalan keindahan. Artinya suatu keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam paham ini keindahan didekati dan dijelaskan secara ilmiah dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah seperti ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah dan bahkan ada yang mendekatkan dan penjelasan ilmu Matematika. Implikasi menggunakan pendekatan atau cara pandang keilmuan ini, maka konsep keindahan akan menampakkan standar, sifat, nilai atau penjelasan yang berbeda sesuai dengan kebenaran disiplin masing-masing ilmu tersebut.
Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakisme, ekspresionisme, dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini. Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi yaitu semacam upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku (universalisme).
Adanya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini kita tahu telah mengakibatkan krisis ekologis.
Lebih lanjut Herbert marcuse menekankan masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu; segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Masyarakat tersebut bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.
Aliran Estetika Postmodernisme
Post Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’ yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial ,politik , dan budaya .
Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkan.
Kelemahan dalam postmodernisme ialah mencampurkan gramatika dan tata bahasa visual yang tidak proporsional, contoh yang paling kentara adalah suguhan acara media tayang televisi yang menawarkan berbagai hal tanpa mencermati subjek, hierarki sosial ataupun budaya masyarakat, terlihat pada tayangan iklan rokok dilihat oleh anak-anak ataupun peristiwa serius dapat terlihat seperti adegan konyol
Estetika Keilmuan
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.
Estetika Filosofis
Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh. Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep.
Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah.
Penasaran !!!

Aliran Estetika Klasik

Aliran Estetika Klasik

Sebutan kata klasik mengandung pengertian sifat dari suatu hal, keadaan atau kejadian pada masa lalu yang mengalami puncak kejayaan, keunggulan, kehebatan, atau kemasyuran namun hingga sekarang sifat-sifat itu masih dirasakan atau diakui. Sifat yang demikian itu disebabkan hal, keadaan atau kejadian tersebut memiliki nilai atau mutu tinggi yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi. Karena itu, sesuatu yang klasik akan tetap bertahan sampai kapanpun seakan tak lekang oleh zaman.

Aliran estetika klasik ini berkembang pada era munculnya tokoh-tokoh filsuf besar, yang terkenal karena kecemerlangan pemikirannya hingga sekarang antara lain seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus dan Thomas Aquinas.

Pokok pemikiran aliran estetika klasik ini bersifat filsafati, yakni deduktif-spekulatif dari hasil pemikiran atau perenungan yang mendalam atas dasar keyakinan, kepercayaan atau ajaran tertentu mengenai hakikat keindahan. Keindahan menurut pemikiran aliran ini merupakan sesuatu hal yang memiliki sifat atau tingkat kesempurnaan yang ideal menurut kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan keyakinan, kepercayaan atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka.

Beberapa tokoh dalam aliran ini bahkan mengemukaan bahwa hakikat keindahan senantiasa terkait dengan hal-hal yang bersifat teologis (ketuhanan). Ketuhanan disini adalah objektivikasi nilai-nilai transendental yang berasal dari tuhan atau merefleksikan nilai-nilai ketuhanan.

Sesuai dengan konsep atau pengertiannya aliran estetika klasik tidak hanya berkembang didunia barat. Konsep-konsep pemikiran estetika timur, jika dipelajari sesungguhnya dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kepercayaan, keyakinan atau ajaran-ajaran yang bersifat metafisis, transendental atau ketuhanan. Logika berpikirnya juga bersifat deduktif dan mutlak diakui kebenarannya. Aliran estetika ini berkembang secara tradisional dari generasi kegenerasi sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan kebudayaan setempat. Sebagai cintoh konsep pemikiran estetika Cina (taoisme), Jepang (zen budhisme), jawa (magis kosmis-mistikisme) dan bali (hindu-balisme) semuanya berkembang atas dasar nilai-nilai tradisi kepercayaan budaya masyarakat yang bersangkutan

Aliran Modernisme
Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaranseni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman modernis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan. Seniman modernis mencampakkan keindahan sebagai faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis oleh Pablo Picasso pada lukisan ‘Les

Paham aliran ini lebih menegaskan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan. Ciri penting yang menandai pemikiran estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yangsangat rasional. Selain itu segala sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat empiris. Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam melihat persoalan keindahan. Artinya suatu keindahan adalah hasil rampatan atau generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam paham ini keindahan didekati dan dijelaskan secara ilmiah dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah seperti ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah dan bahkan ada yang mendekatkan dan penjelasan ilmu Matematika. Implikasi menggunakan pendekatan atau cara pandang keilmuan ini, maka konsep keindahan akan menampakkan standar, sifat, nilai atau penjelasan yang berbeda sesuai dengan kebenaran disiplin masing-masing ilmu tersebut.

Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme, individualisme, kubisme, realisme, abstrakisme, ekspresionisme, dan sebagainya yang berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini. Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi yaitu semacam upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku (universalisme).
Adanya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini kita tahu telah mengakibatkan krisis ekologis.

Pandangan modern yang bersifat objektivistis dan positivisme akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.

Dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan sebagainya.

Lebih lanjut Herbert marcuse menekankan masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu; segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sustem kapitalisme. Masyarakat tersebut bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.

Aliran Estetika Posmodernisme
Post Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’ yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial ,politik , dan budaya .

Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.

Postmodernisme merupakan konsep periodiasi yang berfungsi untuk menghubungkan kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan atau kapitalisme multinasional.

Bila perupa modernis mencari hal-hal yang bersifat universal, maka perupa posmodernis malahan berupaya mengidentifikasikan perbedaan. Kalau modernis percaya pada kemungkinan seni sebagai komunikasi universal, posmodernis justru tidak percaya bahwa seni mampu mengemban misi sebagai bahasa komunikasi universal. Mereka bukan mencari hal-hal yang bersifat universal seperti yang dilakukan perupa modernis melainkan mencari perbedaan spesifik dan khusus dengan memperlihatkan pluralisme pandangan, provisional, variabel, pergeseran dan perubahan. Gerakan modernisme kurang menghargai atau memandang rendah nilai keagungan budaya, mereka merasa terpisah dari peristiwa nyata di tengah masyarakat dan peradaban. Sementara gerakan posmodernisme, kendati memiliki sikap skeptis dan kritis terhadap zamannya, tetapi sangat aktif merespons situasi sosial dan politik.

Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkan.

Postmodern sering didefinisikan sebagai krisis modernisme atau krisis yang disebabkan oleh modernisasi. Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya tetapi pada strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya ‘barat’ didominasi oleh budaya verbal maka kini budaya visual menggantikannya. Program aplikasi komputer yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa verbal dan sulit dihafal, kini bahasa gambar atau ikon banyak digunakan sebagai pengganti bahasa tersebut dan ternyata mudah dipahami.
Penasaran !!!

ESTETIKA

Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang tidak ada unsure keindahannya tidak mempunyai daya tarik. Daya tarik pernah ada dan tidak akan ditambah sifat indah itu adalah universal, yaitu sikap yang simpati dan empati.


1. APA ITU KEINDAHAN

Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Ada dua bagian estetika yaitu secara deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan menggambarkan tentang fenomena pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mempersoalkan penyelidikan hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Aspek-aspek keindahan (beauty) inilah yang sangat berperan di dalam estetika hingga membedakannya dengan aspek-aspek seni (art).

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan.

Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia. Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.


Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.



Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
a. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
b. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.


2. SIFAT KEINDAHAN SUBJEKTIF ATAU OBJEKTIF

Dalam estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus debat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni tidaknya dalam apresiasi maupun kritik seni.Arus sekolahan yang mendasarkan ukuran estetika dari dalam karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) hingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu.

Sekolahan ini dihadapkan pada persoalan filsafat yang bertanya secara mendasar bagaimana subyektivitas seni bisa menjadi obyektivitas indah itu sendiri? Secara ringkas, filsafat seni berabad-abad justru karena sejarah pralogis, logis-modernis, dan posmo setiap kali harus menjawab soal karya seni yang indah (dari subyektivitas seniman maupun apresiator publik) adalah BENAR-BENAR INDAH bagi publik? Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa indah, benar, dan baik itu adalah hasil olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman dalam apa yang disebut sebagai konstruksi nilai budaya. Jadi, yang indah menurut konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas akan diukur dari manfaat karya itu. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi yang tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai yang selalu dirayakan dan dirawat lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.

Konstruksi nilai ukuran logis- modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai ukuran harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa; yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang materi. Oleh Immanuel Kant, ukuran penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada yang ia sebut sebagai sublim, yaitu capaian seniman dalam karyanya yang sudah diendapkan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materia atau yang fisik. Sekolahan pendasaran logis- estetis ini, mempunyai kesulitan ketika harus membawa ukuran sublim itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.

Karena itu, ketika kehidupan dengan ragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan ukuran keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme (yang logos itulah yang paling benar) direaksi dengan sekolahan postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan ukuran estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making. Untuk keluar dalam mencari ukuran estetika karya seni pertama-tama bisa diolah lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya.

Maka tidak heran seorang Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendayai kehidupan dalam will to power.


3. APA UKURAN KEINDAHAN


Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam ukuran keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:

1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.

2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.

3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.

4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.



Kita dapat juga mengukur keindahan melalui beberapa argument dari berbagai peristiwa yang pernah kita saksikan, kita simak, atau bahkan hingga kita amati. Suatu masalah yaitu, lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebasmengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik?
Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik.

Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban. Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.


Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.
Mereka lupa banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.


4. FUNGSI KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN

Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.


5. HUBUNGAN KEINDAHAN DENGAN KEBENARAN


Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad. Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.

Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.
Penasaran !!!

Selasa, 03 Agustus 2010

ESTETIKA

ESTETIKA

Keindahan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, sedangkan yang tidak ada unsure keindahannya tidak mempunyai daya tarik. Daya tarik pernah ada dan tidak akan ditambah sifat indah itu adalah universal, yaitu sikap yang simpati dan empati.

1. APA ITU KEINDAHAN
Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Ada dua bagian estetika yaitu secara deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan menggambarkan tentang fenomena pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mempersoalkan penyelidikan hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Aspek-aspek keindahan (beauty) inilah yang sangat berperan di dalam estetika hingga membedakannya dengan aspek-aspek seni (art).
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan.

Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia. Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.

Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
a. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
b. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.

2. SIFAT KEINDAHAN SUBJEKTIF ATAU OBJEKTIF
Dalam estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus debat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni tidaknya dalam apresiasi maupun kritik seni.Arus sekolahan yang mendasarkan ukuran estetika dari dalam karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) hingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu.

Sekolahan ini dihadapkan pada persoalan filsafat yang bertanya secara mendasar bagaimana subyektivitas seni bisa menjadi obyektivitas indah itu sendiri? Secara ringkas, filsafat seni berabad-abad justru karena sejarah pralogis, logis-modernis, dan posmo setiap kali harus menjawab soal karya seni yang indah (dari subyektivitas seniman maupun apresiator publik) adalah BENAR-BENAR INDAH bagi publik? Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa indah, benar, dan baik itu adalah hasil olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman dalam apa yang disebut sebagai konstruksi nilai budaya. Jadi, yang indah menurut konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas akan diukur dari manfaat karya itu. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi yang tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai yang selalu dirayakan dan dirawat lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.

Konstruksi nilai ukuran logis- modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai ukuran harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa; yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang materi. Oleh Immanuel Kant, ukuran penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada yang ia sebut sebagai sublim, yaitu capaian seniman dalam karyanya yang sudah diendapkan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materia atau yang fisik. Sekolahan pendasaran logis- estetis ini, mempunyai kesulitan ketika harus membawa ukuran sublim itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.

Karena itu, ketika kehidupan dengan ragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan ukuran keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme (yang logos itulah yang paling benar) direaksi dengan sekolahan postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan ukuran estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making. Untuk keluar dalam mencari ukuran estetika karya seni pertama-tama bisa diolah lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya.

Maka tidak heran seorang Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendayai kehidupan dalam will to power.

3. APA UKURAN KEINDAHAN
Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam ukuran keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:
1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.
2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.
3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.
4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.

Kita dapat juga mengukur keindahan melalui beberapa argument dari berbagai peristiwa yang pernah kita saksikan, kita simak, atau bahkan hingga kita amati. Suatu masalah yaitu, lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebasmengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik?
Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik.

Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban. Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.
Mereka lupa banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.

4. FUNGSI KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN
Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

5. HUBUNGAN KEINDAHAN DENGAN KEBENARAN
Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad. Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.

Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.
Penasaran !!!

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;
b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;
c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG SUMBER DAYA AIR


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.
7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.
10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.
14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.
15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.
20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air.
21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.
22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.
23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air.
24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air.
25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung.
26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 2
Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 3
Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 4
Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.

Pasal 5
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

Pasal 6
(1) Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
(3) dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
(4) Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan hak guna air.

Pasal 7
(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air.
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.

Pasal 8
(1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi.
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila:
a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar; atau
c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(4) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.

Pasal 9
(1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi.

Pasal 10
Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 11
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.
(2) Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah.
(3) Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
(4) Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
(5) Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12
(1) Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai.
(2) Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 13
(1) Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional.
(3) Penetapan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
(4) Penetapan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air tanah lintas negara.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 14
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah meliputi:
a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengelolaan sumber daya air;
j. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber daya air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 15
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air;
j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat atas air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 16
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya; dan
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Pasal 17
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain meliputi:
a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air sesuai dengan ketersediaan air yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya.

Pasal 18
Sebagian wewenang Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 19
(1) Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16, pemerintah daerah dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah di atasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 wajib diambil oleh pemerintah di atasnya dalam hal:
a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air sehingga dapat membahayakan kepentingan umum; dan/atau
b. adanya sengketa antarprovinsi atau antarkabupaten/kota.



BAB III
KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Pasal 20
(1) Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
(2) Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(3) Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 21
(1) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian air pada sumber air;
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
(3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22
(1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
(2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 23
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air.
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 24
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/ atau mengakibatkan pencemaran air.

Pasal 25
(1) Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
(2) Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB IV
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR
Pasal 26
(1) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(2) Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
(3) Pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
(4) Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik antarsektor, antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat dengan mendorong pola kerja sama.
(5) Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
(6) Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin.
(7) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat.

Pasal 27
(1) Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air.
(2) Penetapan zona pemanfaatan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana tata ruang wilayah dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(3) Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
a. mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
b. menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
c. memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber air;
d. memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
e. melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan; dan
f. memperhatikan fungsi kawasan.
(4) Ketentuan dan tata cara penetapan zona sumber air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 28
(1) Penetapan peruntukan air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan memperhatikan:
a. daya dukung sumber air;
b. jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
c. perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air; dan
d. pemanfaatan air yang sudah ada.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai penetapan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 29
(1) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi berbagai keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas.
(2) Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan.
(4) Urutan prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(5) Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada pemakainya.
(6) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 30
(1) Penyediaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai .
(2) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengambil tindakan penyediaan sumber daya air untuk memenuhi kepentingan yang mendesak berdasarkan perkembangan keperluan dan keadaan setempat.

Pasal 31
Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 32
(1) Penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media dan/atau materi.
(2) Penggunaan sumber daya air dilaksanakan sesuai penatagunaan dan rencana penyediaan sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Penggunaan air dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, sosial, dan pertanian rakyat dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan lingkungannya atau prasarana umum yang bersangkutan.
(4) Penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang dilakukan melalui prasarana sumber daya air harus dengan persetujuan dari pihak yang berhak atas prasarana yang bersangkutan.
(5) Apabila penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menimbulkan kerusakan pada sumber air, yang bersangkutan wajib mengganti kerugian.
(6) Dalam penggunaan air, setiap orang atau badan usaha berupaya menggunakan air secara daur ulang dan menggunakan kembali air.
(7) Ketentuan mengenai penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 33
Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur dan menetapkan penggunaan sumber daya air untuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan sumber daya air.

Pasal 34
(1) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.
(2) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.
(3) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. daya dukung sumber daya air ;
b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat ;
c. kemampuan pembiayaan; dan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.
(4) Pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei, investigasi, dan perencanaan, serta berdasarkan pada kelayakan teknis, lingkungan hidup, dan ekonomi.
(5) Potensi dampak yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditangani secara tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tahap penyusunan rencana.

Pasal 35
Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) meliputi:
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan; dan
d. air laut yang berada di darat.

Pasal 36
(1) Pengembangan air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilaksanakan dengan memperhatikan karakteristik dan fungsi sumber air yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 37
(1) Air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat meng-akibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
(2) Pengembangan air tanah pada cekungan air tanah dilakukan secara terpadu dalam pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai dengan upaya pencegahan terhadap kerusakan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 38
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan teknologi modifikasi cuaca.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan awan untuk teknologi modifikasi cuaca diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 39
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan memperhatikan fungsi lingkungan hidup.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat menggunakan air laut yang berada di darat untuk kegiatan usaha setelah memperoleh izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan air laut yang berada di darat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 40
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(2) Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.
(4) Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(5) Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk:
a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau;
b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan
c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.
(6) Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d.
(7) Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air.
(8) Ketentuan pengembangan sistem penyediaan air minum, badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum, peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum, dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 41
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi.
(2) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan:
a. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah;
b. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi;
c. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(3) Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air.
(4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.
(5) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(6) Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 42
(1) Pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air baku dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi .
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Pasal 43
(1) Pengembangan sumber daya air untuk keperluan ketenagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan untuk memenuhi keperluan sendiri dan untuk diusahakan lebih lanjut.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk ketenagaan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44
(1) Pengembangan sumber daya air untuk perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan pada sungai, danau, waduk, dan sumber air lainnya.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air sebagai jaringan prasarana angkutan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 45
(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.
(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah.
(3) Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:
a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;
b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan.

Pasal 46
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi air sementara.

Pasal 47
(1) Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:
a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air; dan
b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin pengusahaan sumber daya air.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
(4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.
(5) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong keikutsertaan usaha kecil dan menengah.

Pasal 48
(1) Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan air yang melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(2) Pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

Pasal 49
(1) Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah dapat terpenuhi.
(2) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai yang bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
(3) Rencana pengusahaan air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50
Ketentuan mengenai pengusahaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB V
PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

Pasal 51

(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
(3) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.
(4) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air wilayah sungai dan masyarakat.

Pasal 52
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.

Pasal 53
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada kegiatan nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh pengelola sumber daya air yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 54
(1) Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan mitigasi bencana.
(2) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 55
(1) Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(2) Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan keputusan presiden.

Pasal 56
Dalam keadaan yang membahayakan, gubernur dan/atau bupati/walikota berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).


Pasal 57
(1) Pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana sumber daya air.
(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 58
(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
(2) Ketentuan mengenai pengendalian daya rusak air pada sungai, danau, waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VI
PERENCANAAN

Pasal 59
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
(2) Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasar-kan asas pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(4) Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempur-naan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 60
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional yang mencakup inventarisasi sumber daya air, penyusunan, dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai prosedur dan persyaratan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 61
(1) Inventarisasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dilakukan pada setiap wilayah sungai di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi pada setiap wilayah sungai oleh pengelola sumber daya air yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan ketentuan dan tata cara yang ditetapkan.
(4) Pengelola sumber daya air wajib memelihara hasil inventarisasi dan memperbaharui data sesuai dengan perkembangan keadaan.
(5) Ketentuan mengenai inventarisasi sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) pada setiap wilayah sungai dilaksanakan secara terkoordinasi oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya dengan mengikutsertakan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan secara terbuka rancangan rencana pengelolaan sumber daya air kepada masyarakat.
(3) Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat.
(4) Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap rancangan rencana pengelolaan sumber daya air atas keberatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Rancangan rencana pengelolaan sumber daya air ditetapkan oleh instansi yang berwenang untuk menjadi rencana pengelolaan sumber daya air.
(6) Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam program yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat.
(7) Ketentuan mengenai perencanaan pengelolaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VII
PELAKSANAAN KONSTRUKSI, OPERASI DAN PEMELIHARAAN

Pasal 63
(1) Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dilakukan berdasarkan norma, standar, pedoman, dan manual dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal serta mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air wajib memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 64
(1) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air.
(2) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.
(3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dibangun oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang membangun.
(5) Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi ditetapkan:
a. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,
b. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat petani pemakai air.
(7) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air.
(8) Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB VIII
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR
Pasal 65
(1) Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(2) Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis, kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.

Pasal 66
(1) Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi.
(2) Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis untuk menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.

Pasal 67
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air, sesuai dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air bagi semua pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang melaksanakan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan laporan hasil kegiatannya kepada instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum, organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggungjawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan ketepatan waktu atas informasi yang disampaikan.

Pasal 68
(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air diperlukan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.

Pasal 69
Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



BAB IX
PEMBERDAYAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 70
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pember-dayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan sumber daya air secara terencana dan sistematis untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, operasi dan pemeliharaan sumber daya air dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Kelompok masyarakat atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan upaya pemberdayaan untuk kepentingan masing-masing dengan berpedoman pada tujuan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta pendampingan.


Pasal 71
(1) Menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air menetapkan standar pendidikan khusus dalam bidang sumber daya air.
(2) Penyelenggaraan pendidikan bidang sumber daya air dapat dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta sesuai dengan standar pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 72
(1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang sumber daya air diselenggarakan untuk mendukung dan meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
(2) Menteri yang membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah memperoleh saran dari menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan sumber daya air, menetapkan kebijakan dan pedoman yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang sumber daya air.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung untuk meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang sumber daya air oleh masyarakat, dunia usaha, dan perguruan tinggi.


Pasal 73
Pemerintah memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi dalam bidang sumber daya air sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
(1) Pendampingan dan pelatihan bidang sumber daya air ditujukan untuk pemberdayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan pada wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan sumber daya air, menetapkan pedoman kegiatan pendampingan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya air wajib memberikan dukungan dan bekerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan pendampingan dan pelatihan.

Pasal 75
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya air, diselenggarakan kegiatan pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
(4) Pemerintah menetapkan pedoman pelaporan dan pengaduan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 76
Ketentuan mengenai pemberdayaan dan pengawasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 75 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 77
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air.
(2) Jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi:
a. biaya sistem informasi;
b. biaya perencanaan;
c. biaya pelaksanaan konstruksi;
d. biaya operasi, pemeliharaan; dan
e. biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.
(3) Sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa:
a. anggaran pemerintah;
b. anggaran swasta; dan/atau
c. hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air.




Pasal 78
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kerja sama.
(2) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumber daya air.
(3) Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi diatur sebagai berikut:
a. pembiayaan pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; dan dapat melibatkan peran serta masyarakat petani,
b. pembiayaan pelaksanaan konstruksi sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, kecuali bangunan sadap, saluran sepanjang 50 m dari bangunan sadap, dan boks tersier serta bangunan pelengkap tersier lainnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,
c. pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan strategis nasional, pembiayaan pengelolaan-nya ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang bersangkutan melalui pola kerja sama.

Pasal 79
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan sumber daya air yang diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, badan usaha lain dan perseorangan ditanggung oleh masing-masing yang bersangkutan.
(2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum, Pemerintah dan pemerintah daerah dalam batas-batas tertentu dapat memberikan bantuan biaya pengelolaan kepada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air.


Pasal 80
(1) Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(2) Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan.
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan sumber daya air.
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 81
Ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 82
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, masyarakat berhak untuk:
a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air;
b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan sumber daya air;
c. memperoleh manfaat atas pengelolaan sumber daya air;
d. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat;
e mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air; dan/atau
f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumber daya air yang merugikan kehidupannya.

Pasal 83
Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi sumber daya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air.

Pasal 84
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


BAB XII
KOORDINASI

Pasal 85
(1) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air.
(2) Pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.

Pasal 86
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan oleh suatu wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain.
(2) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air.
(3) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.
(4) Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Pasal 87
(1) Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional yang dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain yang dibentuk oleh pemerintah provinsi.
(2) Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(4) Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif.
(5) Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri yang membidangi sumber daya air.


BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 88
(1) Penyelesaian sengketa sumber daya air pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 89
Sengketa mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya air antara Pemerintah dan pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


BAB XIV
GUGATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

Pasal 90
Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan.

Pasal 91
Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk kepentingan masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air dan/atau kerusakan sumber air yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pasal 92
(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya, untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak dalam bidang sumber daya air;
b. mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran dasarnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air; dan
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.


BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 93
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang sumber daya air dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana sumber daya air;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana sumber daya air;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana sumber daya air;
d. melakukan pemeriksaan prasarana sumber daya air dan menghentikan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
e. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana sumber daya air;
g. membuat dan menandatangani berita acara dan mengirimkan-nya kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.



BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 94
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat meng-akibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan sebagian atau seluruhnya hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan sumber daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); atau
c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2);
d. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pasal 95
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencermaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau;
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pengusahaan sumber daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2);
c. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pasal 96
(1) Dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.



BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 97
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan sumber daya air dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.


Pasal 98
Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.


BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 99
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 100
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 32


Salinan sesuai dengan aslinya,

Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan




Lambock V. Nahattands
Penasaran !!!